Oleh Ratna Ayu
Tanah Jawa kaya akan budaya adiluhung, budaya yang mengajarkan budi pekerti tinggi, yang luhur. Budaya Jawa seperti pertunjukan wayang kulit, ular-ular, cerita-cerita kuno, lagu-lagu atau tembang Jawa sebenarnya sarat dengan filsafat hidup, misalnya mengenai filsafat ilmu politik, filsafat kepemimpinan, dan juga filsafat perjalanan hidup manusia. Tulisan ini akan membahas mengenai tembang Macapat sebagai filsafat perjalanan hidup manusia.
Tembang Macapat memiliki arti yang luas dan beragam. Semuanya merupakan hasil penafsiran yang berbeda-beda, yang kemungkinan besar tergantung dari kemampuan daya tafsir dari masing-masing penafsirnya. Wallahu a’lam.
Berdasarkan sumber-sumber referensi yang penulis baca, berbagai penafsiran mengenai tembang Macapat dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Macapat konon berasal dari kata “mocone papat-papat” (membacanya empat-empat)
2. Buku Baoesastra (Bausastra: ejaan sekarang)
a. Macapat berarti kiblat papat (empat kiblat)
b. Macapat rekaan dari kata “moco–mat” (membaca nikmat), enak didengar saat dilantunkan/ ditembangkan
c. Macapat berarti membaca dengan irama, netrum.
d. Macapat berdasarkan etimologinya “ma+capat”, ada kaitannya dengan lupa-lupa ingat, karena kadang hafal kadang tidak, sehingga “capat” berarti “cepat”
3. Buku Poezie in Indonesia (Slamet Mulyana)
Macapat berasal dari kata “macakepan” (membaca lontar), berdasarkan buku Kalangwan (Zoct Mulder), lontar disebut cakepan (Bali). Macapat identik dengan kata “ma–capak”, “capak” menjadi “cakep”, sehingga “macakepan” berarti “membaca rontal”.
Menurut Wikipedia (2008), tembang Macapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: tembang alit (kecil), tembang tengahan (sedang), dan tembang ageng/ gedhe (besar). Tembang alit terdiri dari Mijil, Sinom, Dhandhanggula, Kinanthi, Asmarandhana, Durma, Pangkur, Maskumambang, dan Pucung. Tembang tengahan terdiri dari Jurudemung, Wirangrong, Balabak, Gambuh, dan Megatruh. Tembang yang termasuk tembang ageng/ gedhe adalah Girisa.
Ada pula yang berpendapat bahwa tembang Macapat terdiri dari 11 tembang, yaitu: Mijil, Maskumambang, Kinanthi, Sinom, Dhandhanggula, Asmarandhana, Durma, Gambuh, Pangkur, Megatruh, dan Pucung. Tembang-tembang selain yang termasuk tembang Macapat (yaitu Wirangrong, Jurudemung, Balabak, dan Girisa), termasuk ke dalam kelompok tembang tengahan dan tembang ageng/ gedhe. Pendapat lainnya adalah bahwa tembang tengahan dan tembang ageng/ gedhe dimasukkan ke dalam kelompok tembang Macapat. Mengenai adanya perbedaan ini, penulis cenderung lebih setuju pada pendapat kedua, tanpa mengabaikan pendapat lainnya tentu saja.
Dengan demikian, tembang-tembang yang termasuk kategori tembang Macapat ada 11, yang jika diurutkan akan menggambarkan perjalanan hidup seorang manusia, yaitu: Mijil, Maskumambang, Kinanthi, Sinom, Dhandhanggula, Asmarandhana, Durma, Gambuh, Pangkur, Megatruh, dan Pucung. Secara filosofis, kesebelas tembang ini mempunyai pengertian sebagai berikut.
1. Mijil
Mijil artinya “lahir”, yaitu kelahiran seorang bayi dari dalam perut ibunya.
2. Maskumambang
Maskumambang mempunyai beberapa penafsiran baik secara etimologi maupun maknanya.
a. Maskumambang berasal dari kata mas dan kumambang. Mas dari kata premas yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumambang dari kata kambang dengan sisipan – um. Kambang dari kata ka- dan ambang. Kambang selain berarti “terapung”, juga berarti “kamwang” atau “kembang”. Ambang berkaitan dengan ambangse yang berarti “menembang”. Dengan demikian, Maskumambang berarti “punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga”. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diartikan sebagai Ulam Toya yang berarti “ikan air tawar”, sehingga kadang-kadang diisyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.
b. Maskumambang artinya “emas yang mengapung diatas air”, ditafsirkan sebagai “air mata”. Air mata dapat keluar karena suka ataupun duka sehingga dapat dikatakan bahwa irama tembang Maskumambang itu mengharukan.
3. Kinanthi
Kinanthi berasal dari kata kinanten yang artinya digandeng/ dituntun atau dari kata kanthi yang berarti “tuntunan” sehingga kinanthi berarti “dituntun agar dapat berjalan di dalam kehidupan dunia”.
4. Sinom
Sinom mempunyai beberapa penafsiran:
a. Sinom berasal dari kata asal kata si dan enom sehingga Sinom berarti “muda/ remaja”.
b. Sinom berasal dari kata kanoman yang berarti “kemudaan/ usia muda” sehingga Sinom menggambarkan bahwa waktu luang pada masa muda adalah untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya.
c. Sinom berhubungan dengan kata sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang punya hajat.
d. Sinom berkaitan dengan upacara-upacara bagi anak-anak muda zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, Sinom berarti “seskaring rambut” yang berarti “anak rambut”. Sinom juga dapat diartikan “daun muda” sehingga kadang diberi isyarat dengan lukisan daun muda.
5. Dhandhanggula
Dhandhanggula mempunyai beberapa penafsiran:
a. Dhandhanggula berasal dari kata dhandhang dan gula . Dhandhang berarti “angan-angan” dan gula berarti “manis”. Dengan demikian, Dhandhanggula berarti “angan-angan yang manis”.
b. Dhandhanggula diambil dari nama raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis yang terkenal sesudah Prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dhandhanggula berarti “ngajeng-ajeng kasaean” (menanti-nanti kebaikan) sehingga Dhandhanggula menggambarkan hidup orang tersebut sedang merasa senang-senangnya, apa yang dicita-citakan bisa tercapai, bisa memiliki keluarga, mempunyai keturunan, hidup berkecukupan untuk sekeluarga.
6. Asmarandhana
Asmarandhana mempunyai beberapa penafsiran:
a. Asmarandhana berasal dari kata asmara dan dahana. Asmara berarti “cinta” dan dahana berarti “api”. Dengan demikian, Asmarandhana berarti “api cinta” sehingga dapat juga berarti perasaan asmara/ cinta, perasaan saling menyukai (perasaan lelaki dan perempuan) yang sudah menjadi kodrat Illahi.
b. Asmarandhana berasal dari kata asmara dan dhana. Asmara adalah nama dewa percintaan. Dhana berasal dari kata dahana yang berarti “api”. Nama Asmarandhana berkaitan dengan peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandhana berarti “remen ing paweweh” (suka memberi).
7. Durma
Durma mempunyai beberapa penafsiran:
a. Durma berasal dari kata nundur tata krama yang berarti “tidak beretika, kurang mengenal sopan santun”.
b. Durma berasal dari kata Jawa Klasik yang berarti “harimau” sehingga sesuai artinya, tembang Durma berwatak atau biasa digunakan dalam suasana seram.
c. Durma berasal dari kata darma/ weweh yang berarti “berdarma/ memberikan sumbangan”. Bila seseorang sudah merasa berkecukupan maka akan timbul rasa kasih sayang kepada sesama yang sedang tertimpa masalah/ musibah, karena pada dasarnya manusia ingin selalu berderma yang mencerminkan rasa kasih sayang di hatinya.
8. Gambuh
Gambuh mempunyai beberapa penafsiran:
a. Gambuh berarti “ronggeng, tahu, terbiasa”. Oleh karena itu, tembang Gambuh berwatak atau biasa digunakan dalam suasana tidak ragu-ragu.
b. Gambuh berasal dari kata jumbuh/ sarujuk yang berarti “cocok” sehingga Gambuh menggambarkan sepasang pria dan wanita yang sudah cocok kemudian dipertemukanlah keduanya yang sudah memiliki perasaan asmara agar menuju ke sebuah pernikahan.
c. Gambuh berasal dari kata gampang nambuh yang berarti “cuek atau acuh tak acuh”.
9. Pangkur
Pangkur mempunyai beberapa penafsiran:
a. Pangkur berasal dari kata mungkur atau mundur yang berarti sudah memundurkan semua hawa nafsunya, yang dipikirkan hanya berdarma kepada sesama makhluk.
b. Pangkur berasal dari pengertian ngepange pikir arep mangkur yang berarti “pikiran yang bercabang karena usia tua”.
c. Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kalangan kependetaan seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa Jawa Kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur berarti “buntut atau ekor”. Oleh karena itu, Pangkur kadang-kadang diberi sasmita atau isyarat tut pungkur yang berarti “mengekor” dan tut wuntat yang berarti “mengikuti”.
10. Megatruh
Megatruh mempunyai beberapa penafsiran:
a. Megatruh berasal dari kata megat dan ruh. Megat berarti “memisahkan” dan ruh berarti “sukma, roh” sehingga Megatruh berarti berpisahnya sukma dan raga (yaitu meninggal). Dengan demikian, nyawa sudah lepas dari jasadnya sebab sudah waktunya kembali ke tempat yang telah digariskan oleh Tuhan.
b. Megatruh berasal dari awalan am-, kata pegat dan ruh. Pegat berarti “putus, tamat, pisah, cerai” dan ruh berarti “roh”. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh berarti mbucal kan sarwa ala yang berarti “membuang yang serba jelek”. Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti “istana, tempat tinggal”. Pameget atau pamegat yang berarti “jabatan”. Samgat atau samget berarti “jabatan ahli, guru agama”. Dengan demikian, Megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
11. Pucung
Pucung mempunyai beberapa penafsiran:
a. Pucung adalah nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan (kuncup dedaunan) yang biasanya tampak segar. Ucapan cung dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
b. Pucung diartikan pocong yaitu orang meninggal dibungkus kain putih, mengandung pengertian jika sudah menjadi lelayon/ mayat maka jasad dipocong kemudian dikubur.
Dengan demikian, kesebelas tembang Macapat tersebut jika diurutkan dapat dipahami sebagai gambaran manusia dari lahir, hidup, sampai mati. Ketiga proses ini masing-masing mempunyai gambaran sifat manusia pada umumnya, yaitu sifat lahir, sifat hidup, maupun sifat mati. Sifat-sifat yang dimaksudkan disini adalah sifat yang bersifat umum/ universal.
Ketiga proses hidup manusia dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Proses kelahiran bayi (lahir-menjelang remaja)
Sifat lahir (sifat bayi) rata-rata mempunyai persamaan, misalnya cara menyusu ibunya. Tembang Macapat yang menggambarkan proses ini, yaitu: Mijil, Maskumambang, Kinanthi.
2. Proses kehidupan remaja-dewasa
Remaja umumnya mempunyai persamaan sifat yaitu mudah terbawa emosi dan kadang tidak memakai tata krama. Usia remaja-dewasa sangat menentukan kualitas hidup selanjutnya di masa tua. Proses ini tergambar dalam tembang Macapat: Sinom, Dhandhanggula, Asmarandhana, Durma, Gambuh.
3. Proses kehidupan orang tua-meninggal
Sifat-sifat orang tua pada dasarnya mempunyai persamaan sifat, yaitu kedewasaan dalam berpikir dan bersikap, gerakan fisik yang tidak selincah di masa muda dan semakin lama semakin lamban, mudah lupa. Proses ini dapat digambarkan melalui tembang Macapat: Pangkur, Megatruh, Pucung.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara filosofis tembang macapat berarti “membaca sifat”, yaitu sifat-sifat manusia secara umum dari lahir, hidup, sampai mati.
REFERENSI
Ika Rizky. 2009. 11 Jenis Tembang Macapat. http://ripordie.wordpress.com.
Karso Mulyo. 2009. Penafsiran Penulis tentang Nama-Nama pada Tembang “Macapat”. http://pena-batang.blogspot.com.
Wikipedia. 2008. Mijil. http://jv.wikipedia.org.
1 komentar:
siiip.,membuatku semakin mensyukuri hidup
Posting Komentar