A. Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu terselenggaranya pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negara. Pendidikan yang berkualitas ini dapat terwujud melalui komitmen serta upaya meningkatkan pendidikan yang dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.
Pada dasarnya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, dan kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru merupakan komponen paling strategis dalam proses pendidikan. Dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah, guru menempati kedudukan yang sangat penting dan tanpa mengabaikan faktor penunjang yang lain, guru sebagai subjek pendidikan sangat menentukan keberhasilan pendidikan itu sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman & Loxley pada tahun 1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara berbagai input yang menentukan kualitas pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru semakin penting lagi di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun tidak dilengkapi dengan sarana yang memadai, namun tanpa guru pendidikan tidak akan berjalan.
Bhaskara Rao (2003: 28) dalam suparlan.com menyebutkan bahwa dalam sebuah konferensi internasional tentang pendidikan di Swiss, kebanyakan peserta dan pakar pendidikan berpendapat bahwa good education requires good teachers (pendidikan yang baik memerlukan guru yang baik). Fasli Jalal (2007: 1) dalam Widoyoko (2008: 1) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas sangat tergantung pada keberadaan guru yang berkualitas, yaitu guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Dengan kata lain, keberadaan guru yang berkualitas merupakan syarat mutlak terciptanya sistem dan pelaksanaan pendidikan yang berkualitas.
Hampir semua negara selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemetintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan kualitas dan pemberian jaminan serta kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini antara lain Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan kualitas guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi kualitas dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru. Memang terdapat beberapa negara yang tidak melakukan sertifikasi guru, tetapi melakukan kendali mutu dengan mengontrol secara ketat terhadap proses pendidikan dan kelulusan di lembaga penghasil guru, misalnya di Korea Selatan dan Singapura. Semua itu mengarah pada tujuan yang sama, yaitu berupaya agar dihasilkan guru yang berkualitas. Dengan demikian, sertifikasi guru merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru, serta berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran. Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya kualitas pembelajaran dan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.
B. Kompetensi dan Profesionalisme Guru
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 ditentukan bahwa seorang pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendiddikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru dan S2 untuk dosen. Kompetensi guru sebagai pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
1. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, yang meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian adalah kepribadian pendidik yang berakhlak mulia, arif dan bijaksana, mantap, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
3. Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang meliputi penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang diampunya, dan konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang diampu.
4. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat, yang meliputi berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua/wali peserta didik, bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku, dan menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan dan semangat kebersamaan.
Menurut Bahtiar, keempat kompetensi tersebut di atas bersifat holistik dan integratif dalam kinerja guru. Oleh karena itu, secara utuh sosok kompetensi guru meliputi: (1) pengenalan peserta didik secara mendalam, (2) penguasaan bidang studi baik disiplin ilmu (diciplinary content) maupun bahan ajar dalam kurikulum sekolah (pedagogical content), (3) penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan pengayaan, dan (4) pengembangan kepribadian dan profesionalisme secara berkelanjutan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan suatu ketetapan bahwa pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus kewajiban-kewajiban profesional. Dengan ketetapan tersebut diharapkan pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesinya tersebut. Menurut Suparlan, kedua aspek tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Guru sebagai pendidik akan terpenuhi syaratnya sebagai profesi jika memiliki kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, tidak terpenuhinya salah satu dari kedua aspek tersebut akan mengurangi tingkat profesionalisme seorang guru.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai bahwa guru haruslah orang yang memiliki insting sebagai pendidik, mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (1) adalah berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran yang selanjutnya berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
C. Sertifikasi Guru
Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik sudah memenuhi standar profesional maka pendidik yang bersangkutan harus mengikuti uji sertifikasi untuk pendidikan dasar dan menengah serta uji sertifikasi dosen untuk pendidikan tinggi. Sertifikasi guru dalam jabatan pada hakikatnya merupakan penerapan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagaimana diketahui, pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan 8 standar nasional pendidikan, yakni (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Terkait dengan Standar Nasional Pendidikan, dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan disebutkan bahwa “sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan”. Telah dijelaskan pula dalam Pasal 8 Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Dengan kata lain, guru merupakan profesi seperti profesi lain, misalnya dokter, akuntan, pengacara, apoteker, dan sebagainya. Pembuktian profesionalisme guru perlu dilakukan. Seorang akuntan harus mengikuti pendidikan profesi terlebih dahulu demikian juga untuk profesi lainnya, termasuk profesi guru.
Buku 5 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Sertifikasi Guru dalam Jabatan 2009 menyebutkan bahwa sertifikasi guru dalam jabatan sebagai upaya meningkatkan profesionalitas guru dan meningkatkan mutu layanan dan hasil pendidikan di Indonesia, diselenggarakan berdasarkan landasan hukum, yaitu: (1) Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2) Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (3) Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (4) Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2005 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik, dan (6) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan.
Sertifikasi guru bertujuan untuk: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, dan (4) meningkatkan profesionalitas guru, termasuk di dalamnya kesejahteraan guru. Adapun manfaat sertifikasi guru antara lain: (1) melindungi profesi guru dari praktek-praktek yang tidak kompeten (malpraktik), yang dapat merusak citra profesi guru, (2) melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional, dan (3) meningkatkan kesejahteraan guru.
Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu penilaian portofolio guru dan jalur pendidikan.
1. Penilaian Portofolio Guru
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 menyatakan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan bukti fisik berupa dokumen yang menggambarkan pengalaman berkarya atau prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini mencerminkan kompetensi guru dalam menjalankan peran sebagai agen pembelajaran.
Komponen penilaian portofolio guru terdiri atas 10 komponen, yaitu: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Sepuluh komponen penilaian portofolio merupakan refleksi dari empat kompetensi guru. Setiap komponen dapat memberikan gambaran satu atau lebih kompetensi guru peserta sertifikasi, dan secara akumulatif dari sebagian atau keseluruhan komponen portofolio merefleksikan keempat kompetensi guru yang bersangkutan.
2. Jalur Pendidikan
Penetapan peserta sertifikasi melalui penilaian portofolio berdasarkan pada urutan prioritas masa kerja sebagai guru, usia, pangkat/ golongan, beban mengajar, tugas tambahan, dan prestasi kerja. Dengan persyaratan tersebut, diperlukan waktu yang cukup lama bagi guru muda yang berprestasi untuk mengikuti sertifikasi. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan yang mampu mengakomodasi guru-guru muda berprestasi yaitu melalui jalur pendidikan. Sehubungan dengan hal tersebut, Menteri Pendidikan Nasional menetapkan Peraturan Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan. Pelaksana sertifikasi melalui jalur pendidikan ini adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ditunjuk sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 122/P/2007. Sertifikasi melalui jalur pendidikan diorientasikan bagi guru yunior yang berprestasi dan mengajar pada pendidikan dasar (SD dan SMP). Program sertifikasi guru melalui jalur pendidikan diselenggarakan selama-lamanya 2 (dua) semester dan diakhiri dengan asesmen. Hasil asesmen digunakan untuk menentukan kelayakan peserta yang mengikuti uji kompetensi (berupa uji tulis dan uji kinerja) yang diselenggarakan oleh LPTK penyelenggara.
D. Jaminan Kualitas Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Menurut Widoyoko (2008: 5), terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu:
1. Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Dengan demikian, diperlukan adanya kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk mencapai kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Jika seorang guru mengikuti uji sertifikasi maka tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi seperti diisyaratkan dalam standar kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi, melainkan sebaliknya yaitu mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.
2. Konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang bersentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat, pelaksanaan sertifikasi akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan, antara lain: (a) dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi, berbagai lembaga pendidikan tinggi khususnya dari pihak LPTK Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi, (b) tuntutan dari berbagai LPTK Negeri khususnya di daerah luar Jawa dengan alasan demi keseimbangan geografis yang akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi, dan (c) tuntutan dan tantangan dari kalangan guru senior atau guru yang masih jauh dari persyaratan misalnya menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar dapat memperoleh sertifikat profesi tersebut.
3. Tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari peraturan yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai pihak khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karena itu, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tidakan tegas, seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi terhadap lembaga yang dimaksud, atau seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi.
4. Laksanakan Undang-Undang secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Jika Undang-Undang Guru dan Dosen dilaksanakan maka sebagian besar pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standar nasional yang harus dipatuhi. Toleransi dapat diberikan dalam pengertian waktu transisi, misalnya untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah terpencil transisi 10 tahun. Namun demikian, standar tidak mengenal toleransi.
5. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
E. Pengembangan Kompetensi dan Profesionalisme Guru Pasca Sertifikasi
Meskipun pelaksanaan sertifikasi guru tahun 2009 sempat menuai protes dan penolakan dari sejumlah universitas, namun proses sertifikasi akan terus dilanjutkan. Demikian ditegaskan oleh Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Baedhowi (Kedaulatan Rakyat, 19 November 2009). Namun demikian, diakui bahwa meski lolos sertifikasi, nilai kompetensi guru rata-rata di kisaran angka 52-64 persen dan bahkan tidak sedikit guru yang nilai kompetensinya terus menurun. Kompetensi yang dinilai antara lain kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Rata-rata nilai untuk kompetensi pedagogik para guru yang lolos sertifikasi sebesar 54,33 persen, kompetensi kepribadian 52,37 persen, kompetensi profesional 64,36 persen, dan kompetensi sosial 53,92 persen.
Hasil kajian tersebut sebenarnya tidak terlalu aneh jika mengetahui motivasi para guru yang mengikuti program sertifikasi, yang hampir 98 persen menyatakan semata demi finansial. Menurut Baedhowi, satu hal yang harus dilakukan adalah mengubah pola pikir (mindset) guru bahwa sertifikasi harus dilihat sebagai upaya untuk mengukur dan meningkatkan kompetensi mereka dan tidak semata-mata disikapi sebagai upaya memperoleh peningkatan kesejahteraan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa proses sertifikasi saja tidak cukup sebagai upaya meningkatkan kompetensi guru, bahkan meskipun mereka telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini merupakan tantangan terbesar yang dihadapi Dirjen PMPTK khususnya dan semua pihak yang terkait pada umumnya, yaitu bagaimana meningkatkan nilai kompetensi guru-guru yang telah lolos sertifikasi pasca sertifikasi.
Menurut Paidi Hw (dalam Riyadi), pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru pasca sertifikasi harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Pendapat ini juga didukung oleh Widoyoko (2008: 7), yaitu dikarenakan prinsip mendasar bahwa guru harus merupakan manusia pembelajar (a learning person). Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan profesionalismenya sebagai guru. Pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru dapat dilakukan melalui upaya pembinaan dan pemberdayaan guru serta harus dilakukan secara terus-menerus (continous profesional development).
Pembinaan guru pasca sertifikasi misalnya melalui: (1) aktivitas kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) yang tidak hanya menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi juga mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri, (2) seminar atau workshop oleh assosiasi atau instansi yang relevan. Pemberdayaan guru pasca sertifikasi misalnya dengan: (1) melakukan penelitian tindakan kelas (PTK), (2) mengikuti lesson study, (3) aktif membaca jurnal/ berkala ilmiah, (4) mengakses informasi perkembangan ilmu via internet atau media informasi lain, (5) menulis karya ilmiah, (6) mengisi kolegalitas dengan kegiatan akademik, (7) memahami aturan kebijakan pendidikan, (8) menuliskan pengalaman kinerja, (9) “srawung” ilmiah dan profesional, (10) menerapkan pengalaman baru (hasil mengikuti seminar) untuk membelajarkan siswa, (11) menggunakan potensi lingkungan sebagai laboratorium, (12) jujur dan menghilangkan formalitas serta ikut-ikutan, (13) memperbaiki rencana pembelajaran, (14) mencoba variasi proses belajar, dan (15) menghargai hasil belajar dari semua aspek.
Pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru pasca sertifikasi juga dapat dilakukan dengan pemberian tugas sesuai dengan kompetensi guru serta dorongan dari pihak manajemen sekolah yang mampu menumbuhkan motivasi kerja bagi guru. Motivasi kerja yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerja guru sehingga kualitas pembelajaran pun akan meningkat. Pada akhirnya kualitas pendidikan pun secara keseluruhan akan meningkat.
F. Penutup
Pendidikan yang berkualitas sangat tergantung pada keberadaan guru yang berkualitas, yaitu guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan bahwa pendidik adalah pekerja profesional sehingga diharapkan pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesinya tersebut. Undang-Undang ini menetapkan kualifikasi dan sertifikasi untuk menentukan kualitas dan kompetensi guru. Namun demikian, pelaksanaan sertifikasi akan menghadapi berbagai kendala, misalnya masalah biaya, tantangan, dan tuntutan. Dalam kondisi seperti ini diperlukan penyikapan yang tepat dari pemerintah sehingga menentukan apakah sertifikasi dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, sehingga meningkatkan profesionalisme guru. Lebih lanjut, pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru pasca sertifikasi juga akan menentukan apakah sertifikasi akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan atau tidak. Pengembangan kompetensi dan profesionalisme yang kurang tepat dapat membenarkan anggapan bahwa pelaksanaan sertifikasi hanya semata-mata sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan, sedangkan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan menjadi terabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Bahtiar Malingi. Mempersiapkan Kompetensi Menuju Sertifikasi Guru. http://www.bimakab.go.id/files/bahtiar-3.doc. Diakses Selasa, 15 Desember 2009.
Kedaulatan Rakyat. 2009. “Sertifikasi Tak Semata Peningkatan Kesejahteraan”. Kedaulatan Rakyat. (19 November 2009). Hlm. 10
Muchlas Samani, et al. 2008. Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2008, Buku 2: Pedoman Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui Penilaian Portofolio. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
____. 2008. Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2008, Buku 4: Pedoman Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui Penilaian Portofolio. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
____. 2009. Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2009, Buku 5: Rambu-Rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
PSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang. 2009. Penilaian Portofolio: Sertifikasi Guru dalam Jabatan. http://psg15.um.ac.id/?p=917.
Dikutip dari Suparlan. 2008. http://www.suparlan.com/pages/posts/penilaian-portofolio-sertifikasi-guru-dalam-jabatan171.php?p=40. Diakses Selasa, 15 Desember 2009.
Riyadi. 2009. Refleksi Sertifikasi Guru Angkatan 2006 – 2007 Kabupaten Purworejo. http://riyadi.purworejo.asia/2009/10/refleksi-sertifikasi-guru.html. Diakses Selasa, 15 Desember 2009.
S. Eko Putro Widoyoko. 2008. Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Sertifikasi Guru di Universitas Muhammadiyah Purworejo, 5 Juli 2008 di Purworejo. http://www.um-pwr.ac.id. Diakses Selasa, 15 Desember 2009.
0 komentar:
Posting Komentar