Oleh Ratna Ayu
PENDAHULUAN: HUBUNGAN FILSAFAT DAN FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA SECARA UMUM
Filsafat pendidikan matematika merupakan terapan dari filsafat umum sehingga sebelum mempelajarinya kita harus belajar terlebih dahulu mengenai filsafat secara umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Secara garis besar, filsafat pendidikan matematika membahas mengenai hal-hal berikut.
1. Teori dan paradigma pendidikan matematika.
2. Karakteristik pendidikan matematika.
3. Filsafat pendidikan matematika dengan memahami terlebih dahulu mengenai filsafat matematika.
Ketiganya akan dibahas lebih lanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Pertemuan ini kita akan membahas terlebih dahulu mengenai filsafat secara umum.
KONSEP FILSAFAT UMUM HUBUNGANNYA DENGAN PSIKOLOGI
Ketika kita mempelajari konsep filsafat, ini berarti kita sedang mempelajari konsep filsafat dan psikologi. Demikian disampaikan Dr. Marsigit pada pertemuan pertama perkuliahan filsafat pendidikan matematika di kelas kami. Hal ini dapat dipahami karena dalam mempelajari filsafat kita dituntut untuk dapat mengutarakan suatu permasalahan secara persis, mencari solusi dari permasalahan tersebut, kemudian memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk permasalahan tersebut. Dalam memenuhi tuntutan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi psikologis seseorang secara otomatis akan ikut andil dalam upaya penyelesaian suatu masalah secara filsafati. Kondisi psikologis yang baik dan cenderung stabil akan mendukung seseorang dalam mempelajari filsafat secara terarah sehingga pemahamannya mengenai filsafat pun akan membawanya ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, kondisi psikologis yang kurang baik dan cenderung labil akan membawa seseorang pada pemahaman filsafat yang cenderung parsial, yang pada akhirnya bisa jadi malah menyeretnya kepada pengembaraan pikiran yang cenderung ‘berbahaya’. Bahkan lebih lanjut hal ini akan menjadi lebih ‘berbahaya’ jika telah direalisasikan dalam bentuk tindakan nyata.
BERPIKIR DAN BELAJAR FILSAFAT
Suatu pengetahuan akan diperoleh seseorang setelah di dalam dirinya muncul rasa ingin tau yang diiringi dengan kesadaran, kemudian berlanjut pada pertanyaan, sebagai hasil berpikir.
Dalam mempelajari filsafat, terdapat dua metode berpikir, yaitu: intensif dan ekstensif. Intensif merupakan metode berpikir filsafat ke dalam (radix) sedangkan ekstensif adalah metode berpikir yang membutuhkan referensi, misalnya berdasarkan hasil pengamatannya terhadap benda-benda di sekitarnya. Sumber belajar filsafat ada yang dekat dan ada pula yang jauh. Sumber yang dekat berupa materi sedangkan sumber yang jauh adalah spiritual.
ADAB DALAM MEMPELAJARI FILSAFAT
Sebagaimana lazimnya ketika kita akan melakukan sesuatu hal, sudah semestinya kita mengetahui terlebih dahulu adab-adabnya. Demikian halnya dalam mempelajari filsafat. Berikut ini akan dibahas mengenai adab-adab dalam mempelajari filsafat.
1. Membuka diri
Adab membuka diri ini dapat dilakukan dengan cara berusaha membawa kesadaran kita ke titik nol. Jika pikiran kita saat ini sedang mengembara maka usahakan agar ia tetap terkontrol sehingga kita dapat membuatnya untuk berhenti sejenak, beristirahat, kemudian mengajak pikiran tersebut untuk memikirkan suatu permasalahan secara filsafati.
Ketika kita membawa kesadaran kita ke titik nol, hal ini sama artinya dengan kita berusaha untuk berpikir bebas, tanpa terpasung dalam dogma-dogma yang ada sebelumnya. Sebagai contoh, coba kunjungi blog Dr. Marsigit, http://powermathematics.blogspot.com. Pada bulan Maret 2010 Beliau menulis elegi yang berjudul “Elegi Membongkar Mitos Teori Kemampuan Otak”. Elegi ini berusaha mengungkap bahwa kemampuan otak itu adalah kemampuan berpikir. Berpikir itu sangat kompleks. Bahkan keadaan kejiwaan dan pengalaman sosial juga bisa mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Keadaan sakit atau cacat juga bisa mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Keyakinan juga berpengaruh terhadap kemampuan berpikir seseorang. Dengan demikian, kita diajak berpikir dengan cara yang ‘berbeda’ dalam memahami teori kemampuan otak. Bukan hanya sekedar ‘mengimani’ teori yang sudah ada, melainkan lebih kreatif lagi untuk memikirkan hal lain.
Berikut ini saya nukilkan tulisan dari buku “Deep Thinking” karya Harun Yahya, yang dalam terjemahannya diberi judul “Bagaimana Seorang Muslim Berfikir”.
Manusia adalah makhluk yang dilengkapi Allah sarana berpikir. Namun sayang, kebanyakan mereka tidak menggunakan sarana yang teramat penting ini sebagaimana mestinya. Bahkan pada kenyataannya sebagian manusia hampir tidak pernah berpikir.
Sebenarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Deep thinking. Itulah istilah dari Harun Yahya yang sekiranya cukup mewakili maksud dari adab pertama dalam mempelajari filsafat, membuka diri dengan memunculkan kesadaran kembali ke titik nol.
2. Niat dan semangat
Setelah adab pertama yaitu membuka diri kita laksanakan, adab selanjutnya yang wajib kita miliki adalah niat dan semangat. Belajar filsafat membutuhkan niat dan semangat sebagaimana ketika kita ingin belajar hal-hal lain. Niat dan semangat yang kuat akan menjadi motivasi serta energi bagi kita dalam mempelajari filsafat secara kontinu dan terarah.
Belajar filsafat dapat dilakukan dengan banyak membaca teori-teori para filsuf dengan disertai kesadaran bahwa filsafat itu tidak hanya cair, tapi ia adalah oksigen yang mengisi. Adapun kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam filsafat secara urut adalah sebagai berikut.
a. Tindakan
b. Tulisan
c. Perkataan
d. Pikiran
e. Hati
f. Ibadah
Semakin ke bawah artinya kegiatan tersebut semakin halus atau fleksibel secara filsafati. Sebagai contoh, pikiran itu lebih halus daripada perkataan karena perkataan kadang tidak akan mampu menjelaskan sebenar-benar pikiran. Demikian halnya dengan hati. Hati lebih halus daripada pikiran karena pikiran kadang tidak akan mampu menjelaskan sebenar-benar hati. Dengan demikian, berdasarkan urutan kegiatannya, tindakan merupakan kegiatan filsafat yang paling keras dan kasar, sedangkan hal-hal yang secara filsafati tidak dapat ditolerir adalah hati dan keyakinan dalam beribadah.
Semakin ke atas artinya kegiatan tersebut meng-cover atau merangkum kegiatan-kegiatan di atasnya. Sebagai contoh, kegiatan ibadah meliputi tindakan, tulisan, perkataan, pikiran, dan hati. Kelima hal ini akan menjadi cermin dari pelaksanaan kegiatan ibadah yang kita lakukan. Jika kita beribadah secara benar sesuai tuntunan agama maka tindakan, tulisan, perkataan, pikiran, dan hati kita pun akan sesuai dengan kaidah sebagai insan beragama.
3. Berusaha memahami konsep dasar filsafat dan metode untuk mempelajarinya
Konsep dasar filsafat meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Ruang lingkup atau area filsafat, yang meliputi: area ontologi (hakikat), area epistemologi (metode/ cara), dan aksiologi (estetika moral).
b. Bahasa filsafat, yaitu bahasa analog artinya filsafat menjelaskan suatu hal atau permasalahan secara analogi melalui pertistiwa tertentu. Jadi ketika kita mempelajari filsafat, kita harus benar-benar memahaminya karena jika kita tidak benar-benar memahami dan hanya mengambil sepenggal-sepengal saja, dapat menyebabkan kita salah persepsi.
c. Objek filsafat, yang meliputi: objek material (yang menjadi isinya, yaitu semua yang ada dan yang mungkin ada) serta objek formal (yang menjadi wadahnya, yaitu pikiran).
Metode untuk mempelajari filsafat adalah hermeunitika, yaitu dengan menterjemahkan dan diterjemahkan mengenai fenomena alam. Hermeunitika sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeun yang artinya dewa pembisik. Dengan demikian, mempelajari filsafat sama artinya dengan mempelajari bisikan, misalnya bisikan alam, bisikan mimpi.
Hermeunitika dapat berbentuk fungsi linear (misalnya waktu) dan dapat pula berbentuk siklik/ spiral/ cycle/ melingkar (misalnya hal-hal yang berulang).
4. Mengetahui sifat-sifat filsafat
Misalnya sifat filsafat yang mensejarah tentang semua yang ada dan yang mungkin ada karena senyatanya kita tidak akan mampu memikirkan diri kita tanpa ada masa lalu kita. Sifat-sifat filsafat dapat diketahui secara intensif maupun secara ekstensif. Secara intensif adalah dengan berpikir ke dalam diri sendiri, sedangkan secara ekstensif adalah dengan menggunakan referensi-referensi atau benda-benda yang ada di sekeliling kita.
5. Membongkar prinsip-prinsip yang ada di dunia
Pada dasarnya, terdapat dua prinsip di dunia ini, yaitu:
a. Prinsip identitas, yaitu jika subjek sama dengan predikatnya. Contohnya yaitu “fulan adalah fulan”. Dalam prinsip ini, meskipun si fulan berprofesi sebagai seorang dokter misalnya, tidak dapat dikatakan bahwa “fulan adalah doktek” karena “fulan” dan “dokter” adalah dua hal yang berbeda. “Fulan” bukanlah “dokter” karena “dokter” bukanlah “fulan”.
b. Prinsip kontradiksi, yaitu prinsip selain identitas. Dengan adanya kontradiksi maka akan diproleh pengetahuan. Hal ini dapat dipahami karena kontradiksi akan membawa kita untuk memikirkan dua hal yang berbeda sehingga terjadi proses hermeunitika yang pada akhirnya kita dapat menarik kesimpulan atas hal-hal tersebut. Itulah pengetahuan. Berdasarkan contoh pada (a), “fulan adalah dokter” merupakan contoh penggunaan prinsip kontradiksi.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai dua prinsip ini, silakan kunjungi blog Dr. Marsigit, http://powermathematics.blogspot.com. Pada bulan April 2010 Beliau menulis elegi yang berjudul “Elegi Ayat Bertemu Ayat”. Dalam elegi ini dijelaskan bahwa ternyata pernyataan “ayat bertemu ayat” itu adalah struktur dunia yang lengkap. Di dunia ini hanya ada dua prinsip saja yaitu prinsip identitas dan prinsip kontradiksi. Dengan demikian, seluruh hidup kita akan dapat tertampung di dalam formula “ayat bertemu ayat”. Pada “ayat bertemu ayat” maka “ayat” kedua dapat dimaknai sebagai “ayat” yang berbeda dengan “ayat” pertama. Itulah prinsip kontradiksi. Ini berarti bahwa jika “ayat” pertama sama dengan “ayat” kedua maka berlaku prinsip identitas.
6. Berpacu dengan sumber
Sumber yang dimaksudkan di dalam perkuliahan ini adalah dosen. Kita harus membaca filsafat sebanyak-banyaknya, baik itu referensi-referensi mengenai teori-teori filsafat maupun aplikatifnya yang berupa tulisan hasil pemikiran seseorang. Banyak membaca elegi dalam blog Dr. Marsigit dapat membantu kita mempelajari dan memahami filsafat.
Jika kita tidak berusaha untuk berpacu dengan sumber maka kita sendiri yang akan “tertelan” dalamnya. Kita hanya akan menjadi objek. Kita akan “dianggap tidak ada”. Kita akan “termakan” oleh mitos-mitos kita sendiri karena ternyata banyak sekali hal-hal yang selama ini kita yakini dan kita anut hanyalah mitos belaka.
Mitos yang sering muncul ketika kita mempelajari filsafat misalnya adalah mempelajari filsafat akan semakin menjauhkan kita dari Tuhan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya, dengan belajar filsafat kita dapat meningkatkan kadar keimanan dan ketaqwaan kita kepada-Nya. Filsafat bertujuan mengajak manusia untuk “berpikir sebagaimana mestinya” dan mengarahkan mereka untuk “berpikir sebagaimana mestinya”. Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan. Akibatnya, ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam dan arti keberadaan dirinya di dunia.
REFERENSI
Marsigit. 2010. “Elegi Membongkar Mitos Teori Kemampuan Otak”. http://powermathematics.blogspot.com. Diakses Minggu, 4 April 2010.
Marsigit. 2010. “Elegi Ayat Bertemu Ayat”. http://powermathematics.blogspot.com. Diakses Sabtu, 17 April 2010.
Yahya, Harun. 2004. Bagaimana Seorang Muslim Berpikir (terjemahan dari Deep Thinking). Diakses dari www.pakdenono.com berdasarkan situs aslinya info@harunyahya.com.